ibadah dan syari'ah dalam islam
Artikel tentang Syari’ah dan Ibadah
Oleh Chindy
Chintya Cahya
3820174181192
Dalam buku “Ibadah dalam Islam” karangan DR. Yusuf Al-qaradhawi menjelaskan bahwa Secara etimologi, kata “ibadah” memiliki beberapa
arti, misalnya: ketaatan (al-abdiyah, al-ubudiyah, dan al-ibadah),
ketundukan (al-khudhu’), kehinaan (adz-dzull), dan lain-lain.
Kemudian, kadang makna ini ditambah dengan unsur perasaan baru yang padanya
tergambar penghambaan hati, setelah penghambaan kepala atau leher. Dan indikasi
unsur ini adalah penghambaan, peribadahan, dan melaksanakan syiar-syiar
(Qaradhawi, 2005). Adapun ibadah dalam tinjauan syariat, dikatakan oleh
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah (dalam Qaradhawi, 2005) sebagai berikut:
“Thariq
muabbid: jalan yang rata, dikatakan demikian jika jalan itu sering diinjak
kaki. Tetapi, ibadah yang diperintahkan itu mencakup makna kerendahan diri dan
makna kecintaan. Maka ibadah mencakup puncak kerendahan diri di hadapan Allah
dengan puncak kecintaan kepada-Nya…..”
Biasanya
ada dua kesalahan manusia dalam memaknai ibadah. Pertama, ibadah ialah
meninggalkan segala sesuatu terkait dunia. Kedua, memaknai ibadah sebagaimana
pada lajurnya. Mengenai kesalahpahaman yang kedua, bermakna bahwa dalam ibadah
mesti ada aspek ikhlas karena Allah SWT serta dilakukan sesuai contoh dari
Rasulullah SAW. Sebagai seorang Muslim seharusnya kita menyadari bahwa tujuan
ibadah sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kemaslahatan kita
sendiri. Sungguh sekiranya seluruh makhluk tidak ada yang beribadah pun, tidak
akan berkurang sedikit pun kekuasaan Allah. Oleh karena itu, dalam setiap
ibadah yang kita diperintahkan untuk menjalankannya pasti terdapat hikmah dan
manfaat.. Maka, setidaknya ada empat ibadah yang sudah kita kenal, yaitu
shalat, zakat, puasa, dan haji. Keempat ibadah tadi sebenarnya ialah ibadah-ibadah
lama tapi baru. Artinya, syariat nabi-nabi terdahulu pun sudah mengenal bentuk
ibadah-ibadah tersebut. Namun, tentu saja ada beberapa perbedaan mengenai
beberapa hal teknis di dalamnya. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW atas perintah
Allah kemudian menyempurnakan syariat tersebut. Firman Allah SWT:
“Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah
mereka selalu menyembah” (QS Al-Anbiya’: 73)
Adapun
tentang shalat, maka ibadah ini memiliki kedudukan amat istimewa dalam Islam.
Saking tinggi nilainya, Rasulullah SAW langsung diminta menghadap Allah saat
menerima perintah shalat. Tidak ada perantara Jibril AS sebagai pembawa wahyu
layaknya perintah ibadah-ibadah lainnya.
Menariknya,
ada hikmah agung dalam syariat shalat lima waktu dalam sehari semalam. Dalam
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW pernah
bersabda kepada para sahabat, “Bagaimana menurut kalian jika sungai mengalir di
depan pintu rumah salah seorang di antara kalian. Kemudian, engkau mandi di
sana lima kali setiap hari. Masihkah ada kotoran yang tertinggal di badanmu?”
Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Kata beliau, “Begitulah
perumpamaan shalat lima waktu yang dengannya Allah menghapus kesalahan.” Kalau
kita mau mengkaji, hikmah menakjubkan lain pun pasti ada dalam ibadah shalat
serta ibadah-ibadah lainnya.
Hal
lain yang menarik tentang shalat ialah perannya sebagai sarana pencegah
perbuatan keji dan munkar (QS Al-‘Ankabut: 45). Ihwal metode pengajaran ibadah
yang ideal, Dr. Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa kita hendaknya memperhatikan
beberapa kaidah. Kaidah-kaidah disarikan dari prinsip dasar Islam yang telah
Rasulullah SAW praktikkan.
Kaidah pertama
ialah mengutamakan fiqih ibadah, tidak hanya berhenti
pada ilmu ibadah. Sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang
Allah kehendaki kebaikan pada diri seseorang, maka Dia akan menjadikannya paham
dalam urusan agama (yufaqqihhu fid diin)” (HR Bukhari).
Kaidah kedua
ialah kesederhanaan. Kaidah ini penting diterapkan
dengan jalan memperhatikan kondisi objek yang kita ajarkan ibadah kepadanya.
Jangan sampai karena terlalu rumitnya kita memberi pengajaran, objek tersebut
malah lari.
Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Illahi,
Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa merupakan arus deras dan
melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya
mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan mati atau maju bersamanya
tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[1]
Maksud dari pilihan yang kedua ini adalah bukan berarti meninggalkan sama sekali
apa yang telah dihasilkan oleh para pendahulu, tetapi tetap mempertahankan
metode yang telah mereka ciptakan walau dengan sedikit revisi.
Memang
sangat disayangkan ketika arus globalisasi semakin menggelora, masih saja
didapatkan aliran-aliran radikal ataupun fundamentalis yang selalu saja menjadi
penyakit penghambat untuk berkembangnya pola fikir yang merdeka dan
bertoleransi. Aliran ini sangatlah intoleran terhadap pemikiran-pemikiran baru,
dan selalu saja melahirkan produk hukum (meminjam istilah Khaled M, Abu
el-Fadl) yang otoriter. Ini sangat bertentangan dengan Alqur’an sebagai kitab
suci umat Islam, walaupun taken for granted tapi Alqur’an merupakan
fundamen toleransi. Artinya, umat Islam adalah umat pilihan Tuhan yang
diperintahkan agar menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental.
Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai
kebutuhan manusia serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam
melarapkan hukum-hukmnya sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an وماجعل عليكم في الدين من حرج (dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama kesempitan). Dengan
kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia tak
terkecuali hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan
perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.
Selain itu, Tujuan dari tasyrî Islam adalah
merealisasikan mashlahah umat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya
syari’at Islam ditegaskan oleh Allah sebagai rahmat bagi manusia; ”Wahai
manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman.”(Q.S. Yunus: 57) Maka tepatlah apa
yang dikatakan oleh Ibnu al Qayyim bahwasanya syari’ah merupakan keadilan,
rahmat, mashlahah dan hikmah secara universal. Jika ada hal-hal yang menyimpang
dari kriteria tersebut maka bukan merupakan syari’ah. Nilai-nilai Islam yang
dimaksudkan adalah terimplementasinya maqâ shid syarî ah al-khamsah yang
merupakan metode filsafat hukum Islam sebagaimana yang akan dijelaskan dalam
tulisan ini.
Dalam buku “Aqidah dan syari’ah” karangan Shaltut
Mahmud menjelaskan bahwa
Akidah dan Syariah Islam Ibadah dan syariah menyatu, saling kait mengait.
Misalnya, ketika Allah menjelaskan tentang shalat. Ibadah adalah semua
penjelasan apa dan mengapa kita shalat. Syariah adalah penjelasan bagaimana
pelaksanaannya; syarat-syarat, rukunrukunnya. Aqidah adalah konsep sedangkan
syariah adalah hukum dari Allah. Ibadah mendefinisikan hal ihwal atau hakikat
segala sesuatu. Konsep itu bersifat mutlak benar karena berasal dari wahyu
Tuhan yang Maha Benar. Konsep yang diwahyukan Allah itu menjadi titik referensi
manusia dalam melihat, memahami dan meyakini yang lainnya. Berbeda dengan
ibadah adalah hukum perbuatan. Sebagai hukum, ia terdiri perintah dan larangan
terhadap suatu perbuatan manusia. Dengan kata lain, syariah adalah rambu-rambu
yang boleh dan yang tidak bolh dilakukan dalam menuju misi hidup manusia
ibadah.
[1] Quraish Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an
dan Dinamika kehidupan Masyarakat” (Jakarta; Lentera Hati, 2006) hlm. 241
Komentar
Posting Komentar