Larangan riba dalam islam


BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Allah Subhanahu Wataala telah menurunkan syariat-Nya yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan dan mencakup semua lini pembahasan baik klasik maupun kontemporer. Islam telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia diantaranya adalah ilmu ekonomi, yang bila dikaitkan dengan syariah menjadi ilmu ekonomi syariah.
Dalam praktek kekinian akan banyak dijumpai muamalah yang terkait dengan jual beli, penambahan harga, arus uang dan barang. Islam memandang praktek jual beli sebagai praktek yang sah dan memiliki maqasid yang agung yaitu untuk menjaga kelangsungan hidup manusia, menjaga harta, jiwa, keturunan, akal dan ketenangan lahir dan bathin.
Namun disisi yang lain ada praktek praktek yang mengatas namakan jual beli yang pada kenyataanya adalah riba diharamkan oleh islam. Jual beli yang jujur dan benar akan menghasilkan keuntungan yang berkah dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh ketenangan, sementara jaul beli yang ribawi akan menyebabkan keresahan, kegundahan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :
1.    Apakah sebab (Asbabun Nuzul) dari  QS Al-Baqarah ayat 275-279?
2.    Apakah pengertian riba dan jual beli?
3.    Bagaimanakah pelarangan riba dalam Al-Quran?
4.    Sebutkan bahaya dan akibat dari memakan riba?
5.    Apakah perbedaan antara sedekah riba?
6.    Apakah berpedaan riba dan jual beli?
7.    Sebutkan contoh implementasi riba dalam jual beli?

8.     

BAB II

LANDASAN TEORI

A.    SEBAB TURUNNYA AYAT

ٱلَّذِينَ يَأۡڪُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّ‌ۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْ‌ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْ‌ۚ فَمَن جَآءَهُ ۥ مَوۡعِظَةٌ۬ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُ ۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُ ۥۤ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ‌ۖ هُمۡ فِيہَا خَـٰلِدُونَ (٢٧٥) يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِى ٱلصَّدَقَـٰتِ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦) إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّڪَوٰةَ لَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ (٢٧٧) يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٧٨) فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ‌ۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَڪُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٲلِڪُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ (٢٧٩)
   Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ayat  278 dan 279 di turunkan berkenaan dengan Bani Umair bin Auf As- Saqifi dan Bani Mughirah, dari Bani Makhzum, keduanya hendak membuat perjanjian dengan Utab bin Asid, Amir Mekah pada waktu itu. Isinya berupa permohonan agar praktik riba di kalangan kedua kabilah tersebut di perbolehkan, sedangkan semenjak Fathu Makkah, segala macam praktik riba telah di haramkan. Amir Makkah kemudian meminta saran kepada Rasululllah SAW. Lalu turunlah kedua ayat tersebut yang di tegaskan dengan ancaman bagi yang melanggarnya.(Lubabun Nuqul :39)

B.     PENGERTIAN RIBA

Riba secara bahasa bermakna Ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain , secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar  (Saeed,1996). Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan harta pokok atau modal secara batil (Antonio, 2001). Wahbah Az-Zuhaili (1989) menjelaskan bahwa menurut Imam Hambali, riba adalah tambahan pada sesuatu yang di khususkan. Abu Hanifah mendefenisikan riba sebagai melebihkan harta dalam suatu transaksi tanpa pengganti atau imbalan. Maksudnya, tambahan terhadap barang atau uang yang timbul dari suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan oleh pihak yang berhutang kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo.[1]
Ibn Arabi Al-Maliki dalam bukunya, Ahkam Al-Quran, menjelaskan bahwa riba yang dimaksud dalam Al-Quran sebagai suatu hal yang bersifat bathil adalah penambahan yangn diambil tanpa ada suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariat. Transaksi pengganti atau penyeimbang yang dimaksud, yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Secara umum, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan sengan cara bertentangan dengan prinsip dan aturan syariat Islam.
Sejak awal permulaan Islam ada dua bentuk riba yang berkembang, yaitu riba an-nasiah, dan riba fadhl. Riba an-nasiah berkaitan dengan penangguhan waktu yang diberikan kepada pengutang untuk membayarkan kembali utang dengan memberikan tambahan atau premi, riba seperti ini banyak terjadi di kalangan orang arab jahiliah.. Jadi riba bentuk ini mengacu pada bunga pada utang. Sistem bunga merupakan sistem yang menguntungkan bagi yang meminjam dan merugikan bagi peminjam. Dalam hal ini tidak ada perbedaan apabila persentase keuntungan dari pokok bersifat tetap atau berubah atau suatu jumlah tertentu yang dibayarkan didepan atau disaat jatuh tempo, atau suatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan pinjaman.[2]
Adapun riba fadhl adalah bentuk kedua riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dan penjual, yang diartikan sebagai kelebihan pinjaman yang dibayarkan dalam segala jenis, bentuk pembayaran tambahan oleh pinjaman kepada kreditor dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama, atau merupakan jual beli barang dengan jenis yang sama dengan ketentuan memberikan imbalan bagi jenis yang lebih baik mutunya, seperti menjual emas karat 20karat dengan emas 2 karat dengan tambahan emas 1 gram sebagai tambahan imbalan bagi emas 2 karat. Riba sepeti ini juga di haramkan berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang artinya :
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (Padi ladang) dengan sya’ir, tamar dengan tamar (kurma), garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnyadan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambhakan atau minta di tambah, maka sesungguhnya dia telah melakukan riba (H.R al-Bukhari dan Ahmad)[3]

C.    PENGERTIAN JUAL BELI

Secara Linguistikal-bai’ (Jual beli) berarti pertukaran sesuatu dengan dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab hanifiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta tersebut dapat diartikan sebagai harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat, atau ungkapan  ijab dan qobul.[4] Sedangkan secara terminologi yang dimaksud sebagai jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.[5]
Menurut Imam Nawawi adalam Kitab Al-Majmu’, al bai’ adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki. Ibnu Qudamah, menyatakan al bai’ adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan dimiliki.[6] Jual beli juga merupakan kontrak, seperti kontrak sipil lainnya, yang dibuat berdasarkan pernyataan (ijab), dan penerimaan (Qobul) yang dinyatakan dengan jelas dan baik dengan lisan maupun lainnya yang bermakna sama.[7]

BAB III

PEMBAHASAN

A.    PELARANGAN RIBA DALAM AL-QURAN[8]

Keharaman riba dapat dijumpai dalam ayat-ayat  al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah. Para mufasir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT secara bertahap. Surat Al-Baqarah ayat 275 merupakan tahap diharamkannya riba secara total.
Pada tahap pertama,  Allah SWT menunjukkan bahwa riba bersifat negatif dan menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya menolong mereka yang memerlukan  sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri atau taqarrub  kepada Allah SWT. Hal ini di sampaikan Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat ke 39 :
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ )الروم : 39)
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[9]
Ayat ini merupakan ayat pertama yang membicarakan tentang riba, menurut para mufassir, ayat  ini termasuk ayat makkiyah. Akan tetapi para ulama sepakat mengatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang di haramkan.
Tahap Kedua,  Allah telah memberikan isyarat tentang di haramkanya riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi, dan akan memberikan balasan yang keras kepada mereka yang mempraktikkan riba. Hal ini disampaikan dalam surat An-Nisa’ ayat 161 :
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Artinya : dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (An-Nisa’ 161)
Tahap Ketiga,  Allah SWT mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu dengan sifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas karena pada masa tersebut praktik pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi banyak di praktikkan oleh masyarakat. Hal ini disampaikan dalam Al-Quran dalam surat Ali-Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Surat Ali-Imran : 130 )
Secara umum ayat ini harus di pahami bahwa kriteria berlipat ganda, bukan merupakan syarat terjadinya riba, melainkan meruapakan sifat karakteristikdari praktik membungakan uang pada saat itu.  Ath-Tabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi juga atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan salah satu pihak yang berhutang akan memberikan kelebihan atau pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya. Dengan demikian bunga dalam jumlah besar , berlipat ganda atau kecil sekalipun tetap merupakan riba.
Tahap terakhir, Allah SWT mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 275, 276, dan 278. Dalam ayat 275 Allah SWT menyatakan bahwa jual beli ssangat berbeda dengan riba.
ٱلَّذِينَ يَأۡڪُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّ‌ۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْ‌ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْ‌ۚ فَمَن جَآءَهُ ۥ مَوۡعِظَةٌ۬ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُ ۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُ ۥۤ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ‌ۖ هُمۡ فِيہَا خَـٰلِدُونَ (٢٧٥) يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِى ٱلصَّدَقَـٰتِ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٧٨)
Pada tahap terakhir ini Allah SWT memerintahkan untuk meninggalkan segala jenis bentuk riba yag masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para pakar fiqh terjadi pada akhir abad ke-8 atau awal abad ke-9 hijriah.
Alasan keharaman riba ini juga di jelaskan dalam sunnah Rasulullah SAW, diantaranya sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar yang diantaranya memakan riba. Dalam riwayat ‘Abdullah Ibn Mas’ud dikatakan “Rasulullah SAW, melaknat para pemakan riba, yang memberi makan secara riba, para saksi dalam masalah riba dan para penulisnya” (H.R Abu Daud dan Hadits yang sama juga di riwayatkan  Muslim dan Jabir Ibn Abdillah).
Demikian secara jelas Allah SAW, telah memberikan penjelasan dalam Al-Quran maupun Sunnah tentang pelarangan riba, pada segala bentuk transaksi bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya kezhaliman pada salah satu pihak. Aktifitas riba juga akan membuat orang hidup malas dengan asumsi tanpa bekerja keras seseorang akan memperoleh return  yang bersifat pasti.

B.     BAHAYA RIBA DAN AKIBAT MEMAKAN RIBA

Pada surat Al-Baqarah ayat ke 275, menurut jumhur mufassir, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba waktu di bangkitkan pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan syaitan. Pendapat ini mengikuti pendapat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud dan juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW :




  Artinya : jauhilah oleh kamu dosa yang tidak diampuni, yaitu; gulul (ialah menyembunyikan harta rampasan peran gdan lainnya), maka barang siapa yang melakukan gulul, nanti barang yangdi sembunyikan itu akan di bawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba, barang siapa yang memakan riba, dia akan di bangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, lagi kemasukan syaitan (H.R Tabrani dari ‘Auf bin Malik).[10]

C.    KEUTAMAAN SEDEKAH DARI PADA RIBA

Pada dasarnya riba dan sedekah merupakan 2 hal yang saling bertolak belakang, berdasarkan surat Al- Baqarah ayat 276 yang berbunyi :
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِى ٱلصَّدَقَـٰتِ‌ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)
Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (Al-Baqarah ayat 276)
Dari ayat tersebut, para ualama berpendapat bahwa yang di maksud dengan perkataan “Allah akan memusnahkan riba” adalah akan memusnahkan harta milik orang-orang yang melakukan riba atau meniadakan berkah dari harta tersebut. Dan “Allah menyuburkan sedekah” artinya Allah akan memperkembangkan harta yang telah di keluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkah dari harta tersebut.[11]
Jika di analogikakan, riba adalah meminjamkan kepada manusia dengan harapan mendapatkan ganti yang berlipat ganda, sedangkan sedekah adalah meminjamkan harta kita kepada Allah dengan cara memberi kepada yang berhak menerimanya dan niscaya uang tersebut akan di lipat gandakan dan mendapat pahala yang sangat banyak.

D.    PERBEDAAN JUAL BELI DAN RIBA

Masyarakat jahiliyah menyamakan antara riba dengan jual beli. mereka menganggap, tambahan yang mereka dapatkan dari hasil jual beli, tidak berbeda dengan tambahan yang mereka dapatkan dari hasil transaksi riba.
Adapun perbedaan yang sangat besar antara jual-beli dengan riba. Diantaranya:
1.      Jual-beli adalah dihalalkan oleh Allah ta’alaa, sedangkan riba jelas telah diharamkan-Nya, dan wajib atas setiap hamba untuk menerimanaya secara mutlak.
2.      Transaksi jual-beli pasti akan menghadapi hal-hal: untung-rugi; perlu kesungguhan dan kepiawaian/keahlian, sedangkan jual-beli dengan cara riba hanya akan mendapatkan keuntungan dan tidak akan pernah menemui kerugian, bagaimanapun keadaannya, tidak perlu keseriusan dan kesungguhan, tidak perlu kepandaian tertentu.
3.      Jual-beli pasti di dalamnya ada pertukaran barang dan keuntungan diperoleh oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), namun riba hanya memberi keuntungan kepada satu pihak saja yaitu penjual. Sayyid Rasyid Ridha mengatakan dalam tafsir Al-Manar: Mayoritas ahli tafsir menjadikan ayat ini (Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba) untuk membantah analogi ini (analogi: jual-beli adalah sama dengan riba); janganlah kalian menyamakan hutang-piutang dengan jual-beli, dan Allah telah melarang kalian dari melakukan analogi yang demikian.
4.      Allah menjadikan cara bermuamalah interpersonal dan mencari harta adalah dengan cara setiap orang bisa saling mengambil keuntungan satu sama lain dengan cara bekerja. Dan tidak boleh seseorang bisa memiliki hak atas orang lain tanpa bekerja, sebab cara ini adalah bathil. Maka, dengan cara inilah lalu Allah menghalalkan jual-beli, sebab dalam jual-beli ada pertukaran. Dan Allah mengharamkan riba sebab didalamnya tidak ada esensi pertukaran atau saling menguntungkan satu sama lain.
5.      Dan makna analogi orang kafir yang menyamakan jual-beli dengan riba, adalah analogi yang rusak/batal. Hal ini karena dalam jual-beli ada keuntungan yang bisa diperoleh bersama-sama, dan cara ini adalah halal. Sedangkan dalam riba banyak hal-hal yang merugikan pihak lainnya, dan ini adalah haram/tidak boleh. Jika terjadi jual-beli, maka konsumen mendapatkan manfaat, yaitu ia memiliki barang setelah ia membeli barang. Adapun riba, maka sesungguhnya riba adalah sesungguhnya adalah memberikan uang dalam jumlah tertentu lalu ia mengambilnya kembali secara berlipat-ganda pada waktu-waktu berikutnya. Maka, kelebihan uang yang ia ambil dari konsumen ini bukan didasarkan kepada manfaat yang diperoleh kedua belah pihak ataupun karena ia bekerja.
6.      Uang adalah alat yang digunakan untuk menilai harga suatu barang yang dibeli oleh konsumen. Jika prinsip ini diubah sehingga uang menjadi maksud inti, maka hal ini akan membawa dampak tercabutnya peredaran ekonomi dari mayoritas masyarakat dan peredaran tersebut hanya ada pada sekelompok orang yang berharta; lalu merekapun mengembangkan harta dengan cara demikian, mereka menyimpan uangnya di bank-bank. Dengan cara inilah orang-orang fakir menjadi binasa.[12]

E.     CONTOH IMPLEMENTASI RIBA DALAM JUAL BELI

Misalnya si A membeli motor bebek kepada si B secara kredit. Nah, jika dalam kesepakatan harus lunas dalam waktu 3 tahun pengangsuran dan ternyata si A tidak mampu melunasinya maka si B menetapkan perpanjangan kredit dengan aturan akan dikenai denda 5%. Jadi yang demikian ini juga contoh riba dalam jual-beli.
Ada pula contoh lain misal, si A membeli sebuah kulkas kepada si B dalam kondisi baru, dan ternyata si B memberikan keringanan angsuran kredit selama 1 tahun, namun jika dalam rentang waktu 1 tahun ternyata angsuran juga belum lunas maka si B juga akan memberlakukan denda 5% dari harga kulkas kepada si A. Tentu ini akan memberatkan bagi si A dan dalam ajaran Islam kesepakatan seperti ini tidak di anjurkan.
Perlu untuk kita ketahui bahwa tindakan riba itu sangat diharapkan dalam konteks apapun secara mutlak tanpa melihat barang atau bendanya. Oleh karena itu sekarang ini perilaku riba sangat rawan, dan bahkan riba dengan berbagai alasan seperti di halalkan.
Misalnya saja jika kita berhutang bensin 1 liter, maka pengembaliannya nanti juga harus 1 liter, apabila lebih maka kelebihan itu yang dinamakan hasil dari riba. Begitu juga saat kita berutang 8 buah apel ke tetangga, maka saat mengembalikannya nanti kita harus mengganti 8 buah apel tanpa ada kelebihan. Sebab kelebihan dari apa yang kita pinjam atau hutang itu termasuk riba dan diharamkan dalam ajaran agama.



BAB IV

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.      Riba dalam ayat tersebut menjelaskan tentang riba yang berlaku di kalangan orang-orang arab jahiliyah yaitu riba nasi’ah.
2.      Para mufasir mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT secara bertahap:
a.              Surat Ar-Rum ayat ke 39
b.              Surat An-Nisa’ ayat 161
c.              Surat Ali-Imran ayat 130
d.             Surat Al-Baqarah ayat 275, 276, dan 278
3.      Akibat riba bagi para pelakunya ialah tidak adanya ketentraman dalam hati, menimbulkan kecurigaan dan seakan-akan orang yang melakukan riba itu kemasukan syaitan.
4.      Dalam AL-Quran telah disebutkan yaitu “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (Al-Baqarah ayat 276)”
5.      Contoh Riba dalam jual beli “Misalnya si A membeli motor bebek kepada si B secara kredit. Nah, jika dalam kesepakatan harus lunas dalam waktu 3 tahun pengangsuran dan ternyata si A tidak mampu melunasinya maka si B menetapkan perpanjangan kredit dengan aturan akan dikenai denda 5%. Jadi yang demikian ini juga contoh riba dalam jual-beli.

 




DAFTAR PUSTAKA


Al Arif. Rianto. M. Nur, Pengantar Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2015)

Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi Yang Disemournakan), (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010)

 Abi Bakar. Alaudin. Al-Khasani. Bin Mas’ud, Bada’i Fi Tartib Asy-Syara’i, Jilid VI, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ilmiah, , Tanpa Tahun), hal 133

Idris Ahmad, Fiqih Al-Shalafiyah , (Jakarta: Karya Indah, 1986)

Al-Khatib,  Syamsyudin Muhammad Bin Ahmad Asy-Syaribani, Al-Quran Karim. Terjemahan Depag. Maghni al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr, 1934)

Chaudhry Sharif Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2012)

Al-Farq baina Al-Bai’ wa Al-Riba fii Al-Syariah Al-Islamiyah, Syaikh Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah Al-Fauzan, www.assalam-center.com. 05 April 2015.

TafsirQ.com, https://tafsirq.com/30-Ar-Rum/ayat-39, Tgl 03 Agustus 2019, pukul 7.30


[1] M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2015), , Hal 148
[2] Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi Yang Disemournakan), (Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2010),  hlm 422
[3] Ibid, Kemetrian Agama RI hlm 423
[4] Al-Khasani Alaudin Abi Bakar Bin Mas’ud, Bada’i Fi Tartib Asy-Syara’i, Jilid VI, (Beirut: Al-Maktabah Al-Ilmiah, , Tanpa Tahun), hal 133
[5] Idris Ahmad, Fiqih Al-Shalafiyah , (Jakarta: Karya Indah, 1986) ,Hlm 5
[6]Al-Khatib,  Syamsyudin Muhammad Bin Ahmad Asy-Syaribani, Al-Quran Karim. Terjemahan Depag. Maghni al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr, 1934) , hlm 559
[7] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2012), hlm 124
[8] Idib. M.Nur Rianto, hal 155-159
[9] (Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan; pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah (agar dia menambah pada harta manusia) yakni orang-orang yang memberi itu, lafal yarbuu artinya bertambah banyak (maka riba itu tidak menambah) tidak menambah banyak (di sisi Allah) yakni tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. (Dan apa yang kalian berikan berupa zakat) yakni sedekah (untuk mencapai) melalui sedekah itu (keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan) pahalanya sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin.  TafsirQ.com, https://tafsirq.com/30-Ar-Rum/ayat-39, Tgl 03 Agustus 2019, pukul 7.30
[10] Ibid, Kemetrian Agama RI, hlm 424
[11] Ibid, Kemetrian Agama RI, hlm 426
[12] Al-Farq baina Al-Bai’ wa Al-Riba fii Al-Syariah Al-Islamiyah, Syaikh Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah Al-Fauzan, www.assalam-center.com. 05 April 2015.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sending children to the boarding school

Stay Active

Belajar dari jepang membentuk komunitas pendidik